Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta (FH UMJ) Prof. Dr. Ibnu Sina Chandranegara, MH., menyebut bahwa pendidikan tinggi hukum telah mengalami reorientasi. Hal ini disampaikannya saat orasi ilmiah pada Wisuda XXVI STIH IBLAM di Balai Sarbini, Jakarta, Sabtu (12/8/2023).
Pendidikan tinggi hukum perlu menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi terutama penguasaan teknologi yang semakin pesat. Ada dua rekomendasi penting untuk para wisudawan STIH IBLAM yaitu sikap beradaptasi dan kemampuan berkolaborasi.
Pesatnya teknologi yang terus berkembang dari waktu ke waktu berimplikasi terhadap berbagai aspek termasuk dalam hal ini dunia hukum. Dinamisnya perkembangan yang terjadi ini tentu menjadi salah satu aspek penting yang patut diperhatikan seksama oleh penyelenggara pendidikan tinggi hukum.
Baca Juga: Prof. Ibnu Sina: Konstitusi Berperan sebagai Medium Penataan dan Pengelolaan Kekuasaan
“Perkembangan sejarah dari pendidikan tinggi hukum di Indonesia itu mengalami reorientasi. Ditambah lagi, masa kini bagaimana menghadapi tantangan khususnya penguasaan teknologi yang pesat,” ujar Prof. Ibnu.
Kondisi tersebut membuat lulusan hukum harus ‘bertarung’ dengan gagasan baru di bidang hukum. Tantangan ke depan adalah kompetisi semakin pesat seiring dengan jumlah Sarjana Hukum yang meningkat.
Menurutnya, segala tantangan yang muncul ini tidak lepas dari 3 poin penting. Pertama, adanya kecenderungan pergerakan peran materi hukum sebagai sarana stimulus ekonomi, penguasaan teknologi, bahkan sektor politik dan budaya. Kedua, tendensi penurunan biaya jasa hukum konvensional.
Ketiga, the hyperconnectivity society yaitu perkembangan sarana pendukung sistem hukum yang sekarang sudah berorientasi pada sistem sosial yang hyperconnectivity. Ketiga poin tersebut melahirkan kondisi dimana pendidikan tinggi hukum perlu menyesuaikan dengan perkembangan yang ada.
“Teknologi mulai memainkan peran yang penting dalam pemberian jasa hukum, banyak pekerjaan mulai tergantikan. Dampaknya adalah the more for the less problem. Tuntutan yang tinggi kepada Sarjana Hukum, tapi biaya jasa hukum semakin murah. Ini yang kemudian berkembang di masa mendatang,” ungkapnya.
Meski di satu sisi sejumlah pekerjaan bidang hukum bakal tergantikan, tidak menutup kemungkinan pula berkembangnya lapangan pekerjaan pada sejumlah sektor terutama yang berkaitan dengan pengembangan sistem informasi. Oleh karena itulah lulusan pendidikan tinggi hukum harus mulai dapat membekali diri dengan kemampuan interpersonal dan intrapersonal.
Tak kalah penting bagi Sarjana Hukum maupun Magister Hukum agar terus menimba ilmu dan memperbarui pengetahuan. Mengingat semakin banyaknya aturan fundamental baru yang diterbitkan seperti UU Cipta Kerja maupun KUHP baru.
Tantangan tersebut menurut Ibnu Sina dapat memengaruhi cara berhukum yang akan cenderung jauh lebih praktiks dan mudah penyesuaiannya. Ia kemudian merekomendasikan dua kemampuan yang perlu dimiliki yaitu adaptasi dan kolaborasi.
Terlepas dari itu, Ibnu Sina berpesan untuk jebolan fakultas hukum agar tetap optimis dengan kekuatan yang dimiliki jauh lebih besar daripada tantangan yang bakal dihadapi. “Setiap orang ada zamannya dan setiap zaman ada orangnya, postulat ini memberi keyakinan pada kita bahwa waktu akan menentukan relevansi kita.”
Di tengah transformasi bentuk yang dialami hukum pada masa ini, kata Ibnu Sina, Sarjana Hukum dituntut mempunyai kemampuan adaptasi dan terbuka sebesar-besarnya untuk kolaborasi. Dengan tetap menuntut ilmu baik dan bermanfaat agar tetap relevan di perkembangan zaman.
Editor: Dinar Meidiana