FISIP UMJ Gelar Seminar Internasional Peringati 34 Tahun Peristiwa Tiananmen
- 6 Juni 2023
Oleh :
Mutiara Halimatu's Sadiyah
Baca juga :
Pembicara
seminar ini melibatkan kalangan akademisi dari India dan Indonesia.
Dari India telah hadir secara virtual mantan Direktur Jenderal Infrantri
militer India Letjen (Purn) Rameshwar Yadav Dekan School of
International Studies, Jawaharlal Nehru University, Prof. Srikanth
Kondapalli, dan Dr. Mahesh Ranjan Debata, Dosen Jawaharlal Nehru
University. Sedangkan dari Indonesia Dr. Sri Yunanto dari Program
Magister Ilmu Politik, FISIP UMJ, wartawan senior Veeramalla Anjaiah,
Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP UMJ Debbie Affianty M.Si dan
wartawan senior Telly Nathalia. Seminar ini dipimpin oleh Dr. Asep
Setiawan dari Prodi Magister Ilmu Politik FISIP UMJ. Kaprodi Magister
Ilmu Politik Dr. Lusi Andriyani membuka acara mewakili Dekan FISIP UMJ
Dr. Evi Satipsi dan Kaprodi Ilpol Dr. Usni.
Inspirasi
Dikatakan inspirasi karena dengan munculnya demonstrasi melibatkan ribuan orang di Beijing dan berbagai kota di China menunjukkan kekuatan mahasiswa yang menginginkan tegaknya demokrasi. Aksi ini terpicu meninggalnya pemimpin Partai Komunis China pro Demokrasi Hu Yaobang bulan April. Mereka berunjukrasa selama tiga bulan yang terpusat di Lapangan Tiananmen sampai membuat sejumlah tiruan patung liberti, symbol kebebasan.
Wartawan senior Telly Nathalia memperlihatkan video liputan tragedy di Lapangan Tiananmen dimana mahasiswa berunjuk rasa secara bebas yang kemudian ditumpas dengan pengerahan tank dan tantara ke Lapangan Tiananmen. Menurut Telly, salah satu yang terinspirasi unjuk rasa mahasiswa pro demokrasi itu adalah Indonesia 1998.Mahasiswa ikut menjadi motor Gerakan pro demokrasi yang berkulminasi pendudukan Gedung DPR/MPR sehingga Presiden Soeharto juga akhirnya mundur. Peristiwa ini, jelas Telly yang juga ikut berdemo pada waktu itu, menunjukan adanya kesamaan dengan China dimana mahasiswa berperan dalam mendorong demokratisasi. Dosen FISIP UMJ Debbie Affianty membenarkan bahwa tragedi Tiananmen ini menjadi inspirasi bagi gerakan pro demokrasi di Indonesia 1998.
Namun demikian kegagalan mahasiswa China, jelas Dekan School of International Studies, Jawaharlal Nehru University, Prof. Srikanth Kondapalli, dikarenakan kurangnya kekompakan diantara mereka. Disebutkan para mahasiswa yang berunjuk rasa di China dan terutama di Lapangan Tiananmen terpecah-pecah jadi beberapa kelompok. Sedangkan penguasa waktu itu kompak mulai dari Partai Komunias China dan militernya sehingga dapat menumpas gerakan mahasiswa yang menelan korban banyak.
Sementara itu Dr. Sri Yunanto menjelaskan bahwa jika membandingkan kondisi di China tahun 1989 dengan kondisi Indonesia 1998, ada kesamaan yakni terjadinya Gerakan mahasiswa menuntut demokrasi. Namun di Indonesia terjadi krisis ekonomi yang kemudian mendorong cepatnya perubahan politik. Sedangkan di China tahun 1989 tidak terjadi krisis ekonomi sehingga hanya mahasiswa yang bergerak untuk mewujudkan demokrasi di sana.
Dosen Prodi Ilmu Politik FISIP UMJ dan kandidat Doktor Hubungan Internasional Debbie Affianty mencatat bahwa setelah tragedi ini China memiliki beberapa karakteristik dalam perkembangannya. Pertama China fokus kepada ekonomi di atas segala-galanya. Kedua,penumpasan dengan kekerasan terhadap aksi demokrasi menyebabkan negara dan masyarakat teralienasi, masyarakat apatis dan elit hanya mengejar pembangunan nasional untuk kepentingan pribadi.Ketiga, muncul sinisme dan tiadanya harapan karena idealisme yang pernah diperjuangkan terhenti.
Dalam bagian lainnya, wartawan senior Veeramalla Anjaiah menjelaskan
ini adalah protes terbesar dan terlama dalam sejarah China. Bahkan
diperkirakan, lebih dari satu juta orang mahasiswa, pekerja dan
masyarakat umum, ikut serta dalam aksi protes damai tersebut. Para
pengunjuk rasa menyerukan kebebasan, demokrasi, penghentian korupsi,
reformasi ekonomi dan politik, Sebagai tanggapan, pemerintah, yang
dijalankan oleh Partai Komunis China mengirimkan 200.000 tentara dan
ratusan tank serta kendaraan lapis baja untuk menumpas aksi protes
tersebut pada tanggal 3-4 Juni 1989. Pihak berwenang Beijing mengumumkan
Darurat Militer pada tanggal 20 Mei untuk menekan protes, yang dimulai
pada tanggal 16 April sebagai unjuk rasa kecil dan berubah menjadi
protes besar-besaran.
Editor : Tria Patrianti